Foto: Dok, Carla Makay/KM |
Oleh: Carla Makay Assem
OPINI, KABARMAPEGAA.Com – Pemilihan umum datang lagi. Perdamaian universal di kumandangkan dan rubah (anjing utang) menunjukkan satu minat yang tulus untuk memperpanjang hidup unggas (yang menjadi santapannya). George Eliot, novelis Inggris, Felix Holt. Itulah pepatah yang cocok dengan pesta demokrasi.
Seperti yang kita ketahui pesta demokrasi adalah momentum 5 tahuanan untuk mencari kader terbaik yang dipercaya oleh rakyat untuk memimpin suatu daerah selama 1 periode. Baru-baru ini kita juga telah melaksanakan pesta demokrasi yang secara serentak terjadi di beberapa daerah pada tanggal, 15 Februari 2017 lalu. Pesta demokrasinya memang telah usai tapi ceritanya akan dikenang oleh masyarakat.
Jika, lebih detail tentang motavasi seseorang mencalonkan dirinya sebagai bupati dan wakil bupati, maka pertanyaan mendasar yang akan muncul adalah “apakah moment Pilkada di jadikan sebagai ajang untuk menunjukan kehebatan dan seberapa besar pengaruh dari masing-masing kandidat, atau apakah di bawah payung demokrasi satu partai selalu mencurahkan energinya yang terbesar untuk mencoba membuktikan bahwa partai lain tidak cocok untuk memerintah – dan keduanya umumnya sukses, dan benar atau apakah ini adalah kerinduan dari masing-masing kandidat saat melihat daerah mereka tertinggal, terbelakang dan terdepan sehingga hati mereka tergerak untuk mempertaruhkan segalanya demi membangun daerahnya ke arah yang lebih baik.
Dalam dunia politik, apa saja bisa terjadi. Banyak kandidat yang mempertaruhkan segalanya demi ambisinya, gengsinya dan kerinduannya dengan harapan dialah yang akan menjadi pemimpin. Itu wajar saja karena tidak ada larangan untuk menjadi kepala daerah.
Demokrasi memerlukan para demokrat. Benar, seperti kata Charles de Gaulle Presiden Prancis, Untuk menjadi tuan, politisi menampilkan diri mereka seperti pelayan. Mereka berjanji membangun jembatan bahkan di tempat yang tidak ada sungai. Kita punya banyak kepercayaan di negeri ini, tapi kita kekurangan sekali orang baik untuk ditempatkan pada kepercayaan kita. Inilah masalah sesungguhnya bahwa saat ini kita kehilangan orang jujur.
Sesuai dengan fenomena yang terjadi dikancah perpolitikan bahwa pemilihan kepala daerah adalah seni halus mendapatkan suara dari orang miskin dan dana kampanye dari orang kaya, dengan menjanjikan melindungi satu dari yang lain.
Oscar Ameringer, system Saat ini telah membenarkan pernyataan diatas, bahwa kandidat yang memenangkan pemilu dialah yang berhak mengendalikan sistem pemerintahan sesuai dengan kemauannya. Sedangkan kandidat yang kalah menjadi penonton. Jika sistem semacam ini terus di lestarikan maka, percayalah saat matahari terbit kamu hanya akan melihat kemiskinan.
Apakah ini ambisi atau kerinduan. Hasilnya akan kita ketahui setelah masa kepemimpinannya berakhir. Karena kita tidak mungkin menilai seseorang sebelum melihat kinerjanya. Selama kampanye, angin terisi penuh dengan pidato-pidato – dan sebaliknya pidato hanya berisi angin.
Kita boleh mengatakan bahwa banyak janji kampanye yang tidak akan di tepati, itu adalah hal yang wajar karena masyarakat hanya percaya pada eksekusi bukan perkataan. Tetapi dalam prosesnya hingga hasilnya masyarakat akan sadar bahwa pemimpinnya membangun, pemimpinnya korupsi atau bisa jadi pemimpinnya gagal menjalankan amanah rakyatnya.
Saat ini yang kita tahu, pemimpin yang berhasil dan membangun karena kerinduannya terhadapnya rakyatnya adalah Pak Ahok. (Muyepimo/KM)
*) Penulis adalah Mahasiswi Papua, Kuliah di Tanah Koloni Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar