Oleh, Soleman Itlay
ARTIKEL, KABARMAPEGAA.COM--Tidak Main-Main. Pada tanggal 17 Agustus adalah hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia. Sebelum memasuki bulan kemerdekaan sampai menjelang puncaknya, seantero nusantara Indonesia cukup membahana. Nuansa peringatan kemerdekaan mulai nampak dimana-mana. Itu bisa dilihat pada semua tempat. Mulai dari orang membuat status di jejaring sosial, liputan berita, essay, dan beragam kegiatan, seperti festival budaya, perlombaan dan lain sebagainya.
Dalam rangka menyongsong momentum bersejarah ini, setiap daerah pasti punya nuansa yang berbeda-beda. Dalam artianlain, wilayah Indonesia bagian barat berbeda dengan bagian tengah dan timur. Dalam satu provinsi sekalipun, keadaan masing-masing kampung, distrik, kabupaten/kota dan provinsi tentu akan berbeda. Namun yang paling penting adalah bagaiman melihat sukacita dari setiap warga Negara yang ada di seluruh Indonesia. Dalam konteks ini, sukacita kemerdekaan yang dialami di Indonesia bagian tengah, barat dan timur sebagian sudah rasakan boleh dikatakan rata-rata sangat dan cukup guna merasakan bakal menikmatinya.
Jauh berbeda dengan tanah Papua, provinsi Papua dan Papua Barat. Kedua provinsi ini dikenal dengan wilayah rawan konflik akibat perilaku manusia biasa yang sok berkuasa. Setiap kali hari besar pasti diawali dengan kekerasan dan diakhiri dengan kejahatan. Hari besar seperti Idul Fitri, Idul Adha, Natal dan Paskah sekalipun dianggap tidak penting. Sehingga dengan tidak takut membolong kulit manusia bahkan hilangkan nafas dengan berani serta semaunya. Jangan heran kalau orang asli Papua tidak merasakan sukacita di bulan ini. Entalah kenapa? Mungkin karena beda ras.
Keadaan provinsi termiskin urutan satu dan dua ini sangat memprihatinkan. Orang Papua di bulan Agustus ini penuh dengan luka, darah, duka dan tangisan. Sudah tahu delapan adalah bulan kemerdekaan Indonesia, tapi masih saja “ada” orang bertingkah seperti binatang liar. Sungguh, ini tentang tindakan brutal tidak manusiawi yang membuat jarak antara orang asli Papua dengan peringatan kemerdekaan Indonesia. Susah, dalam keadaan seperti ini merasakan sukacita. Semu ini ada kaitan erat dengan tima panas tapi ada yang bilang peluruh karet dan tindakan tidak terpuji tapi ada pula yang klaim bahwa yang dilakukan adalah tindakan yang sesuai prosedur hukum.
Semua itu, merupakan hakekat watak kebenaran yang selama ini berlaku dibawah matahari. Sungguh ini realitas negeri dimana tragedi Wamena, Wasior, Biak, Abepura, Merauke, Sanggeng, Paniai, Merauke, Sorong, Timika berdarah pernah mengakibatkan banyak orang korban. Antusias perayaan besar kali ini, tidak semata-mata dari sisi banyaknya umbul-umbul kain, panflet, spanduk dan baliho dengan kalimat selamat ”Dirgahayu RI ke 72” yang tidak seperti biasanya terpampang di sejumlah tempat. Tetapi kekerasan dan kejahatan akhir-akhir ini juga patut memberikan nuansa tersendiri pada usia Negara yang cukup tua sekali ini.
Kegiatan dan kondisi di Papua sangat unik bercampur luar biasa dan ada sisi lain yang memaluhkan. Bayangkan, halaman gereja yang selama 71 tahun jarang dipasang kain warna putih merah, sekarang kelihatan mengelilingi pagar, bahkan sampai di dalam gereja maupun beberapa tempat yang mudah dilihat orang. Ukuran kecil sampai besar sangat jelas dan sampai sekarang masih ada. Tahun ini memang jauh berbeda dengan sebelumnya. Nuansanya pun bakal terlalu berlebihan. Khusunya gereja katolik keuskupan Jayapura. Dimana setelah memprovokasi umat melakukan aksi bela Ahok dan selamatkan Pancasila dan NKRI pada Senin, 15 Mei 2017. Belakangan ini, semakin hari nuansa gereja makin lain pula.
Aroma pewartaan kabar gembira dan kepentingan politica sangat dirasakan oleh setiap masyarakat (umat). Penunjukkan permaianan sistematis di Papua tidak main-main. Sangat kelihatan sekali. Boleh dikatakan, bahwa gerakan keindonesiaan di Papua memasuki tahun 2017 semakin luar biasa. Tentu ini “ada” hasil kerja keras semua pihak dari masing-masing organisasi kemasyarakatan yang ada di Papua, baik gereja, LSM, instansi Negara, terutama gereja dan lain sebagainya. Perjuangan atas nama Papua untuk Indonesia dewasa ini patut dijempol. Kepala suku musiman sampai gembala musia muncul seperti jamur di musim hujan. Lagu lama tapi luar biasa kalau baca tanpa kaca mata kebijaksanaan.
Kerja keras dengan strategi dari masing-masing penggerak di semua kabupaten/kota, mulai dari RT, kepala kampung, kadistrik, bupati, wali kota, gubernur, pangdam, kapolda, uskup dan semua pimpinan elemen masyarakat cukup membantu itu. Namun yang tidak boleh lupa bertanya adalah tentang perhiasan dalam rangka merayakan ingatan kemerdekaan Indonesia. Umbul-umbul segala macam ini lahir “dari, oleh dan atas” dasar “apa”. Apakah dari kesadaran atau oleh nasionalisme? Ataukah atas situasional semata? Siapa yang bisa menjawab ini? Pasrahkan pada nilai luhur kejujuran, kedamaian, kebenaran dan keadilan.
Semua dinamika sosial ini kelihatan di negeri yang dunia kenal, acap kali kaum pribuminya mencari pengakuan secara adil dan bermartabat. Oleh karena itu, untuk memastikan pertanyaan diatas agak sulit, karena situasi ini terjadi dimana bangsa yang pernah menyatakaan kemerdekaannya tetapi kemudian masih ditindas oleh bangsa lain saat ini. Mau bilang dari kesadaran nasionalisme juga tidak mungkin karena bau intervensi semua pemangku kepentingan terlalu kelewatan batas. Tidak bisa begitu. Butuh pihak ketiga tapi ini bukan soal mau lakukan “referemdum” atau seperti PEPERA 1969 yang cacat hukum. Kalau pun suruh buktikan, yang keluar pasti hasil produk tipu daya dan rekayasa terhadap nilai kesucian hidup umat manusia.
Hendak pastikan pijakan hiasan HUT RI diatas amat sulit. Bicara untuk mencari kejelasan tidak akan “ada” akhir yang baik. Karena perilaku tipu daya, suka memanipulasi dan membolakbalikan fakta masih lekat pada kekuasaan saat ini. Hanya orang-orang yang mau mencari pembenaran di dalam berkas sejarah kelam Indonesia dan Papua lah yang bisa menjawab dengan tulus dan iklas. Tanpa menyentuh jejak historis itu, orang akan menjawab di luar jangkauan kebijaksanaan yang diharapkan semua pihak. Karena watak kebiadaban dan moral yang lahir dari nilai-nilai keburukan masih utuh bersemayam di relung semua pemangku kepentingan belaka.
Karena itu, semua orang tidak bisa asal bicara tentang peringatan proklamasi ke 72 di Papua tahun ini. Karena perayaan kali ini bukan main-main. Tidak main-main. Baiknya kembali kepada masa lalu untuk bicara situasi hari ini yang tepat. Kenapa? Karena sejak Papua dipaksakan bergabung dengan Indonesia, perayaan kemerdekaan seperti ini pernah diadakan 72 kali. Namun tidak seperti tidak main-main hari ini. Semua orang bisa mereflesikan dengan baik. Karena sebelumnya tidak seluar biasa hari ini. Peringatan perayaan kemerdekaan Indonesia dulu tidak seramai kali ini. Rata-rata dibawah keramaian sekarang.
Sebelum memasuki Agustus, semua sekolah baik SD, SMP, SMA, Perguruan Tinggi, istansi pemerintahan dan swasta sangat ramai menyanyikan lagu “Indonesia Raya” setiap hari senin dan hari-hari besar lain. Dalam kegiatan semianar dan lain sebagainya diawali dengan lagu nasional. Bahkan di RRI maupun media cetak maupun eletronik pun turut meyebarkan dan mewartakan kabar berbau keindonesiaan. Hal lain, bisa dilihat di setiap pemukiman warga, dimana pagar, tempok dan lainnya dicat dengan warna merah putih. Terkesan ada sesuatu yang membuat semua ini terjadi. Boleh katakan disebabkan oleh tekanan politik. Namun belum jelas karena banyak orang sibuk sana sini terkait pemilihan gubernur 2018 besok di Papua.
Papua merdeka, bisa pikir atau bilang salah satu bagian kondisi bulan Agustus di Papua saat ini. Tapi belum pasti. Orang akan bilang, tidak mungkin karena Papua merdeka tidak ada kaitan dengan umbul-umbul dan segala macam yang baru “ada”. Bagaimana pun klaim seperti itu akan dibenarkan. Bukan karena kebenaran tapi kebetulan tidak ada alasan alternatif. Kekuasaan pasti membenarkan semua yang salah. Kepentingan tentu akan menyangkal kebenaran. Keuangan mengendalikan apa yang hidup dan tidak bisa diperkosa. Akibatnya, semua dilakukan dengan sesuka hati dan semaunya diluar hakekat kebenaran.
Ditengah keramaian ini, orang Papua hanya bersuara lirik “Derita Tiada Akhir”, seperti orang yang menyanyikan lagu ciptaan almarhum Hengky M.S, mantan penyanyi group legendaries Black Brothers asal Papua di era 70-an. Barangkali bukan karena jual buah-buah pinang karena tidak menjual emas dari Tembagapura Timika dan minyak di Sorong, seperti kaka Edo Kondologit menyanyi untuk perubahan. Tetapi karena banyak honai, pagar, gapura, dan halaman kampung ditutupi rerumputan, seperti yang dinyanyikan Agus Halitopo dari group legendaries Nayak Group, anak didik dari almarhum J.B Wenas.
Kenapa orang Papua menyayikan lagu-lagu kesedihan diatas tanah leluhurnya? Pergi saja ke Deyai dan Timika. Tanya kepada kecil besar dan segala yang bersuara dan tidak bernafas. Tanya, ada apa di bulan Agustus ini? Orang Papua melirik nyanyian sedih, atas karena muak melihat semua perilaku sosial sekitar. “Segala sesuatu”, baik benda biotik dan abiotik yang “baru ada” sejak 1961 adalah busuk. Sungguh merasakan “segala sesuatu yang baru” penyebab dari nyanyian diatas. Orang kulit hitam dan keriting rambut, sungguh sadar tentang semua itu. “Segala sesuatu yang baru” bukan untuk “baik”, sebaliknya untuk membuat “buruk”.
Intinya “segala sesuatu yang baru ada” hanya untuk menyetarakan nasib dengan saudara yang sama persis DNA-nya, yaitu orang Aborigin di Australia. Dimana mereka, orang Aborigin sebagian besar punah dari atas negeri leluhurnya. Bisa juga “segala sesuatu yang baru ada” di Papua guna menyetarakan dengan saudaranya sendiri. “Segala sesuatu yang baru” adalah neraka bagi orang Papua asli. “Segala sesuatu” itu menyangkut dengan barang yang ada di kios, tokoh, ruko, hutan, kota, sungai, pantai, jalan, nasi ikan, ayam, sapi, babi, esavator, sangkur, laras, mobil avansa, motor, senjata, pesawat, obat, hotel dlsb.
Paling utama dari “segala sesuatu yang baru” adalah manusia.Semua dijadikan alat tinggal atur startegi secara sistematis dan terstruktur. Semua masih berlaku. Tidak usah ambil jauh, dengan demikian peringatan kemerdekaan dari proses awal sampai akhir, sekarang dan nanti kelak tidak akan pernah merasakan sukacitanya. Bagaimana merasakan sukacita dari nuansa seperti hari ini? Kekuasaan menginjak-injak “segala sesuatu” yang sudah “ada” dari 50.000 tahun kala. “Segala sesuatu” yang “ada” dipandang biasa-biasa. Hari besar dianggap hari-hari kecil atau biasa. Mungkin karena modal tidak tahu membedakan itu bisa menjadi faktor juga, barangkali.
Salah satu akibatnya, biasa perlakukan orang Papua pada hari-hari besar persis seperti hewan dan binatang. Sehingga alih-alih pemburuh nafas, sulit membuat orang Papua merasakan sukacita kemerdekaan Indonesia diatas tanah Papua. Semua ini berbicara berdasarkan jejak historis watak, tindakan, kekerasan dan kejahatan termasuk goresan dukacita pada bulan ini. Pada tanggal 01 Agustus 2017, satuan Brimob Polda Papua menembak sekitar 8 orang warga sipil di kampung Oneibo, kabupaten Deyai. Satu orang korban atas nama Yulianus Pigay meninggal di rumah sakit umun daerah Nabire, akibat kena timah panas.
Sementara 7 orang lainnya mengalami luka tembak dan kritis yang cukup serius. Mereka itu adalah Delianus Pekei (30), Yohanes Pekei (35), Yunior Pakage (27), Melianus Dogopia (30), Yohanes Pakege, dan Deria Pakege. Sembilan hari kemudian, seorang nelayan bernama Theo Cakatem tewas ditembak oleh aparat TNI di Pelabuhan Nusantara Pomako, Timika. Penembakan ini terjadi tepat pada Rabu, 9 Agustus 2017, pukul 14.30 siang waktu Papua. Dikabarkan bahwa korban berusia 20 tahun. Dia terpaksa meninggalkan keluarga pada bulan Agustus ini. Peristiwa ini merupakan bagian dari satu rentetan sejarah orang Papua. Kereasan dan kejahatan adalah kebenaran perilaku Negara di tanah Papua. Penembakan merupakan satu nuansa peringatan proklamasi Indonesia di tanah Papua pada tahun 2017.
Penulis adalah anggota aktif Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) St. Efrem Jayapura, Papua.
Sambut HUT RI di Papua |
Dalam rangka menyongsong momentum bersejarah ini, setiap daerah pasti punya nuansa yang berbeda-beda. Dalam artianlain, wilayah Indonesia bagian barat berbeda dengan bagian tengah dan timur. Dalam satu provinsi sekalipun, keadaan masing-masing kampung, distrik, kabupaten/kota dan provinsi tentu akan berbeda. Namun yang paling penting adalah bagaiman melihat sukacita dari setiap warga Negara yang ada di seluruh Indonesia. Dalam konteks ini, sukacita kemerdekaan yang dialami di Indonesia bagian tengah, barat dan timur sebagian sudah rasakan boleh dikatakan rata-rata sangat dan cukup guna merasakan bakal menikmatinya.
Jauh berbeda dengan tanah Papua, provinsi Papua dan Papua Barat. Kedua provinsi ini dikenal dengan wilayah rawan konflik akibat perilaku manusia biasa yang sok berkuasa. Setiap kali hari besar pasti diawali dengan kekerasan dan diakhiri dengan kejahatan. Hari besar seperti Idul Fitri, Idul Adha, Natal dan Paskah sekalipun dianggap tidak penting. Sehingga dengan tidak takut membolong kulit manusia bahkan hilangkan nafas dengan berani serta semaunya. Jangan heran kalau orang asli Papua tidak merasakan sukacita di bulan ini. Entalah kenapa? Mungkin karena beda ras.
Keadaan provinsi termiskin urutan satu dan dua ini sangat memprihatinkan. Orang Papua di bulan Agustus ini penuh dengan luka, darah, duka dan tangisan. Sudah tahu delapan adalah bulan kemerdekaan Indonesia, tapi masih saja “ada” orang bertingkah seperti binatang liar. Sungguh, ini tentang tindakan brutal tidak manusiawi yang membuat jarak antara orang asli Papua dengan peringatan kemerdekaan Indonesia. Susah, dalam keadaan seperti ini merasakan sukacita. Semu ini ada kaitan erat dengan tima panas tapi ada yang bilang peluruh karet dan tindakan tidak terpuji tapi ada pula yang klaim bahwa yang dilakukan adalah tindakan yang sesuai prosedur hukum.
Semua itu, merupakan hakekat watak kebenaran yang selama ini berlaku dibawah matahari. Sungguh ini realitas negeri dimana tragedi Wamena, Wasior, Biak, Abepura, Merauke, Sanggeng, Paniai, Merauke, Sorong, Timika berdarah pernah mengakibatkan banyak orang korban. Antusias perayaan besar kali ini, tidak semata-mata dari sisi banyaknya umbul-umbul kain, panflet, spanduk dan baliho dengan kalimat selamat ”Dirgahayu RI ke 72” yang tidak seperti biasanya terpampang di sejumlah tempat. Tetapi kekerasan dan kejahatan akhir-akhir ini juga patut memberikan nuansa tersendiri pada usia Negara yang cukup tua sekali ini.
Kegiatan dan kondisi di Papua sangat unik bercampur luar biasa dan ada sisi lain yang memaluhkan. Bayangkan, halaman gereja yang selama 71 tahun jarang dipasang kain warna putih merah, sekarang kelihatan mengelilingi pagar, bahkan sampai di dalam gereja maupun beberapa tempat yang mudah dilihat orang. Ukuran kecil sampai besar sangat jelas dan sampai sekarang masih ada. Tahun ini memang jauh berbeda dengan sebelumnya. Nuansanya pun bakal terlalu berlebihan. Khusunya gereja katolik keuskupan Jayapura. Dimana setelah memprovokasi umat melakukan aksi bela Ahok dan selamatkan Pancasila dan NKRI pada Senin, 15 Mei 2017. Belakangan ini, semakin hari nuansa gereja makin lain pula.
Aroma pewartaan kabar gembira dan kepentingan politica sangat dirasakan oleh setiap masyarakat (umat). Penunjukkan permaianan sistematis di Papua tidak main-main. Sangat kelihatan sekali. Boleh dikatakan, bahwa gerakan keindonesiaan di Papua memasuki tahun 2017 semakin luar biasa. Tentu ini “ada” hasil kerja keras semua pihak dari masing-masing organisasi kemasyarakatan yang ada di Papua, baik gereja, LSM, instansi Negara, terutama gereja dan lain sebagainya. Perjuangan atas nama Papua untuk Indonesia dewasa ini patut dijempol. Kepala suku musiman sampai gembala musia muncul seperti jamur di musim hujan. Lagu lama tapi luar biasa kalau baca tanpa kaca mata kebijaksanaan.
Kerja keras dengan strategi dari masing-masing penggerak di semua kabupaten/kota, mulai dari RT, kepala kampung, kadistrik, bupati, wali kota, gubernur, pangdam, kapolda, uskup dan semua pimpinan elemen masyarakat cukup membantu itu. Namun yang tidak boleh lupa bertanya adalah tentang perhiasan dalam rangka merayakan ingatan kemerdekaan Indonesia. Umbul-umbul segala macam ini lahir “dari, oleh dan atas” dasar “apa”. Apakah dari kesadaran atau oleh nasionalisme? Ataukah atas situasional semata? Siapa yang bisa menjawab ini? Pasrahkan pada nilai luhur kejujuran, kedamaian, kebenaran dan keadilan.
Semua dinamika sosial ini kelihatan di negeri yang dunia kenal, acap kali kaum pribuminya mencari pengakuan secara adil dan bermartabat. Oleh karena itu, untuk memastikan pertanyaan diatas agak sulit, karena situasi ini terjadi dimana bangsa yang pernah menyatakaan kemerdekaannya tetapi kemudian masih ditindas oleh bangsa lain saat ini. Mau bilang dari kesadaran nasionalisme juga tidak mungkin karena bau intervensi semua pemangku kepentingan terlalu kelewatan batas. Tidak bisa begitu. Butuh pihak ketiga tapi ini bukan soal mau lakukan “referemdum” atau seperti PEPERA 1969 yang cacat hukum. Kalau pun suruh buktikan, yang keluar pasti hasil produk tipu daya dan rekayasa terhadap nilai kesucian hidup umat manusia.
Hendak pastikan pijakan hiasan HUT RI diatas amat sulit. Bicara untuk mencari kejelasan tidak akan “ada” akhir yang baik. Karena perilaku tipu daya, suka memanipulasi dan membolakbalikan fakta masih lekat pada kekuasaan saat ini. Hanya orang-orang yang mau mencari pembenaran di dalam berkas sejarah kelam Indonesia dan Papua lah yang bisa menjawab dengan tulus dan iklas. Tanpa menyentuh jejak historis itu, orang akan menjawab di luar jangkauan kebijaksanaan yang diharapkan semua pihak. Karena watak kebiadaban dan moral yang lahir dari nilai-nilai keburukan masih utuh bersemayam di relung semua pemangku kepentingan belaka.
Karena itu, semua orang tidak bisa asal bicara tentang peringatan proklamasi ke 72 di Papua tahun ini. Karena perayaan kali ini bukan main-main. Tidak main-main. Baiknya kembali kepada masa lalu untuk bicara situasi hari ini yang tepat. Kenapa? Karena sejak Papua dipaksakan bergabung dengan Indonesia, perayaan kemerdekaan seperti ini pernah diadakan 72 kali. Namun tidak seperti tidak main-main hari ini. Semua orang bisa mereflesikan dengan baik. Karena sebelumnya tidak seluar biasa hari ini. Peringatan perayaan kemerdekaan Indonesia dulu tidak seramai kali ini. Rata-rata dibawah keramaian sekarang.
Sebelum memasuki Agustus, semua sekolah baik SD, SMP, SMA, Perguruan Tinggi, istansi pemerintahan dan swasta sangat ramai menyanyikan lagu “Indonesia Raya” setiap hari senin dan hari-hari besar lain. Dalam kegiatan semianar dan lain sebagainya diawali dengan lagu nasional. Bahkan di RRI maupun media cetak maupun eletronik pun turut meyebarkan dan mewartakan kabar berbau keindonesiaan. Hal lain, bisa dilihat di setiap pemukiman warga, dimana pagar, tempok dan lainnya dicat dengan warna merah putih. Terkesan ada sesuatu yang membuat semua ini terjadi. Boleh katakan disebabkan oleh tekanan politik. Namun belum jelas karena banyak orang sibuk sana sini terkait pemilihan gubernur 2018 besok di Papua.
Papua merdeka, bisa pikir atau bilang salah satu bagian kondisi bulan Agustus di Papua saat ini. Tapi belum pasti. Orang akan bilang, tidak mungkin karena Papua merdeka tidak ada kaitan dengan umbul-umbul dan segala macam yang baru “ada”. Bagaimana pun klaim seperti itu akan dibenarkan. Bukan karena kebenaran tapi kebetulan tidak ada alasan alternatif. Kekuasaan pasti membenarkan semua yang salah. Kepentingan tentu akan menyangkal kebenaran. Keuangan mengendalikan apa yang hidup dan tidak bisa diperkosa. Akibatnya, semua dilakukan dengan sesuka hati dan semaunya diluar hakekat kebenaran.
Ditengah keramaian ini, orang Papua hanya bersuara lirik “Derita Tiada Akhir”, seperti orang yang menyanyikan lagu ciptaan almarhum Hengky M.S, mantan penyanyi group legendaries Black Brothers asal Papua di era 70-an. Barangkali bukan karena jual buah-buah pinang karena tidak menjual emas dari Tembagapura Timika dan minyak di Sorong, seperti kaka Edo Kondologit menyanyi untuk perubahan. Tetapi karena banyak honai, pagar, gapura, dan halaman kampung ditutupi rerumputan, seperti yang dinyanyikan Agus Halitopo dari group legendaries Nayak Group, anak didik dari almarhum J.B Wenas.
Kenapa orang Papua menyayikan lagu-lagu kesedihan diatas tanah leluhurnya? Pergi saja ke Deyai dan Timika. Tanya kepada kecil besar dan segala yang bersuara dan tidak bernafas. Tanya, ada apa di bulan Agustus ini? Orang Papua melirik nyanyian sedih, atas karena muak melihat semua perilaku sosial sekitar. “Segala sesuatu”, baik benda biotik dan abiotik yang “baru ada” sejak 1961 adalah busuk. Sungguh merasakan “segala sesuatu yang baru” penyebab dari nyanyian diatas. Orang kulit hitam dan keriting rambut, sungguh sadar tentang semua itu. “Segala sesuatu yang baru” bukan untuk “baik”, sebaliknya untuk membuat “buruk”.
Intinya “segala sesuatu yang baru ada” hanya untuk menyetarakan nasib dengan saudara yang sama persis DNA-nya, yaitu orang Aborigin di Australia. Dimana mereka, orang Aborigin sebagian besar punah dari atas negeri leluhurnya. Bisa juga “segala sesuatu yang baru ada” di Papua guna menyetarakan dengan saudaranya sendiri. “Segala sesuatu yang baru” adalah neraka bagi orang Papua asli. “Segala sesuatu” itu menyangkut dengan barang yang ada di kios, tokoh, ruko, hutan, kota, sungai, pantai, jalan, nasi ikan, ayam, sapi, babi, esavator, sangkur, laras, mobil avansa, motor, senjata, pesawat, obat, hotel dlsb.
Paling utama dari “segala sesuatu yang baru” adalah manusia.Semua dijadikan alat tinggal atur startegi secara sistematis dan terstruktur. Semua masih berlaku. Tidak usah ambil jauh, dengan demikian peringatan kemerdekaan dari proses awal sampai akhir, sekarang dan nanti kelak tidak akan pernah merasakan sukacitanya. Bagaimana merasakan sukacita dari nuansa seperti hari ini? Kekuasaan menginjak-injak “segala sesuatu” yang sudah “ada” dari 50.000 tahun kala. “Segala sesuatu” yang “ada” dipandang biasa-biasa. Hari besar dianggap hari-hari kecil atau biasa. Mungkin karena modal tidak tahu membedakan itu bisa menjadi faktor juga, barangkali.
Salah satu akibatnya, biasa perlakukan orang Papua pada hari-hari besar persis seperti hewan dan binatang. Sehingga alih-alih pemburuh nafas, sulit membuat orang Papua merasakan sukacita kemerdekaan Indonesia diatas tanah Papua. Semua ini berbicara berdasarkan jejak historis watak, tindakan, kekerasan dan kejahatan termasuk goresan dukacita pada bulan ini. Pada tanggal 01 Agustus 2017, satuan Brimob Polda Papua menembak sekitar 8 orang warga sipil di kampung Oneibo, kabupaten Deyai. Satu orang korban atas nama Yulianus Pigay meninggal di rumah sakit umun daerah Nabire, akibat kena timah panas.
Sementara 7 orang lainnya mengalami luka tembak dan kritis yang cukup serius. Mereka itu adalah Delianus Pekei (30), Yohanes Pekei (35), Yunior Pakage (27), Melianus Dogopia (30), Yohanes Pakege, dan Deria Pakege. Sembilan hari kemudian, seorang nelayan bernama Theo Cakatem tewas ditembak oleh aparat TNI di Pelabuhan Nusantara Pomako, Timika. Penembakan ini terjadi tepat pada Rabu, 9 Agustus 2017, pukul 14.30 siang waktu Papua. Dikabarkan bahwa korban berusia 20 tahun. Dia terpaksa meninggalkan keluarga pada bulan Agustus ini. Peristiwa ini merupakan bagian dari satu rentetan sejarah orang Papua. Kereasan dan kejahatan adalah kebenaran perilaku Negara di tanah Papua. Penembakan merupakan satu nuansa peringatan proklamasi Indonesia di tanah Papua pada tahun 2017.
Penulis adalah anggota aktif Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) St. Efrem Jayapura, Papua.
0 komentar:
Posting Komentar