( Foto dock ilustrasi analisis problematika pertambangan papua) |
Papua adalah daerah yang penentu
Dalam sisi pengembangan pertumbuhan ekonomi di negara indonesia bahkan dunia.
Papua juga merupakan tungku api dunia yang telah dan sedang bahkan pula akan menjamin secara tak berkala.
Opini : Wegeutonews---==== Papua adalah daerah teritori yang berkuasa segala kekuatan ekonomi , namun yang di rampas oleh kekuatan kaum kapitalis, imperialisme, dan militerisme yang di skenario kan oleh negara kolonial indonesia dan Amerika Serikat .
Status sistem operasi pelayanan kedua negara yaitu mitra dalam proses perampasan semua sumber daya alam papua secara tidak benar .
Sehingga , hidup dan kehidupan manusia papua menjadi kehancuran , sebenarnya hasil dari kerja pertambangan di papua akan menjamin kesejahteraan, kemakmuran rakyat langkah sebenarnya.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan
Pemahaman tentang sumber daya alam dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 bersifat reduksionis. Sumber daya alam lebih banyak dilihat sebagai komoditi. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang pertambangan mengartikan sumber daya tambang sebagai bahan galian (unsur kimia, mineral, biji dan batuan yang merupakan endapan alam) yang merupakan kekayaan nasional yang dikuasai dan dipergunakan negara untuk kemakmuran rakyat.
Selain pandangan reduksionis tentang sumber daya alam, Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 lebih menitikberatkan perhatian pada eksploitasi (use-oriented) dari pada kelestarian sumber daya tambang. Undang-undang ini hanya memberikan satu pasal ini hanya memberikan satu pasal perlindungan lingkungan dari kegiatan pertambangan. Pengaturan tersebut bahkan hanya berlaku pada kegiatan pasca penambangan, dengan menyatakan bahwa “apabila selesai melakukan penambangan bahan galian pada suatu tempat pekerjaan, pemegang kuasa pertambangan yang bersangkutan diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan bahaya penyakit atau bahaya lain bagi masyarakat sekitarnya.” Dengan ketentuan semacam itu maka undang-undang ini kurang memberi perhatian pada upaya konservasi sumber daya alam dan lingkungannya.
Pemanfaatan sumber daya tambang diarahkan untuk meningkat-kan pendapatan negara yang dilakukan dengan mengundang investor besar. Dengan demikian undang-undang ini sarat dengan orientasi ekonomi dan kapital (economic and capital oriented).
Undang-undang pertambangan ini juga bersifat sentralistik. Penguasan, pemanfaatan, dan pengusahaan serta perijinan usaha pertambangan umum ditetapkan oleh pemerintah pusat (Menteri Pertambangan). Pemerintah daerah hanya berhak melaksanakan penguasaan negara dan mengatur usaha pertambangan untuk bahan galian golongan C seperti pasir, kapur, belerang, dan lain-lain yang kurang bernilai ekonomis tinggi. Sedangkan, bahan galian tambang golongan A dan B seperti emas, tembaga, nikel, minyak dan gas bumi, batu bara, timah, bauksit, dan lain-lain menjadi bagian dari kewenangan pemerintah pusat.
Dengan semangat sentralistik itu pula maka tidak ada ruang bagi pengaturan mengenai partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan pengelolaan sumber daya tambang. Kontrol publikpun dalam pengelolaan sumber daya tambang sejak awal tidak diatur dalam undang-undang ini. Masyarakat terutama yang berdiam di wilayah yang akan dilakukan kegiatan pertambangan tidak pernah diberi informasi dan dimintakan persetujuan bagi rencana pemberian ijin pertambangan. Hal ini mengabaikan satu prinsip penting dalam pengelolaan sumber daya alam yang dikenal sebagai prior informed-consent principle.
Pengakuan pada hak-hak masyarakat adat diintegrasikan dalam pengaturan tentang pertambangan rakyat. Undang-undang ini menafsirkan bahwa rakyat setempat yang mengusahakan kegiatan pertambangan dipastikan sebagai masyarakat yang terikat oleh hukum adat. Dalam kenyataannya, tidak semua rakyat setempat adalah masyarakat adat, dan tidak semua pertambangan rakyat dilakukan oleh masyarakat adat. Membatasi hak masyarakat adat hanya pada pengelolaan tambang skala kecil (pertambangan rakyat) merupakan wujud sikap diskriminatif pada masyarakat adat dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya tambang.
Implikasi pengaturan pengelolaan sumber daya tambang yang bercorak sentralistik, sektoral, dan diskriminatif secara nyata menimbulkan dampak negatif bagi ekologi dan lingkungan hidup. Operasi dari usaha pertambangan menimbulkan kerusakan tanah, air, dan degradasi sumber daya alam hayati. Pasal 30 yang mengatur kewajiban pengusaha untuk melakukan reklamasi dan rehabilitasi ternyata bukan dimaksudkan sebagai upaya untuk konservasi, reklamasi, rehabilitasi, atau mengembalikan fungsi lingkungan hidup, tetapi hanya sekadar sebagai upaya untuk mencegah kemungkinan timbulnya penyakit.
( penulis : Mahasiswa Papua yang Asal dari MEEPAGOO Kuliah di Jayapura Papua Maikel Gobay)
0 komentar:
Posting Komentar