BUDAYA SUKU MEE PANIAI
tarian adat mee (foto:d.kobepa) |
Meepago-Mee-“Dalam arsitektur tradisional Suku Mee, terkandung secara terpadu wujud ideologi orang Mee bahwa seorang laki-laki yang telah menikah, dan tidak punya rumah itu sama hal dengan tidak memiliki segala sesuatu. Intinya, arsitektur tradisional merupakan cermin budaya leluhur,” tuturnya.
Sekedar diketahui, suku Mee berasal dari Kabupaten Paniai, di kawasan Pegunungan Tengah Papua. Suku ini, dari hasil penelitian yang ada, termasuk suku terbesar, setelah suku Dani. Kemudian disusul suku Biak, suku Sentani (Jayapura) dan Ayamaru (Sorong). Setelah dimekarkan tahun 1997, sebagian orang Mee bergabung dengan Kabupaten Nabire. Ada pula yang urban ke Kabupaten Timika, Wamena, Biak, Sorong , Jayapura, Merauke dan beberapa kabupaten lain di Tanah Papua.
Sekedar diketahui, suku Mee berasal dari Kabupaten Paniai, di kawasan Pegunungan Tengah Papua. Suku ini, dari hasil penelitian yang ada, termasuk suku terbesar, setelah suku Dani. Kemudian disusul suku Biak, suku Sentani (Jayapura) dan Ayamaru (Sorong). Setelah dimekarkan tahun 1997, sebagian orang Mee bergabung dengan Kabupaten Nabire. Ada pula yang urban ke Kabupaten Timika, Wamena, Biak, Sorong , Jayapura, Merauke dan beberapa kabupaten lain di Tanah Papua.
Masyarakat papua terdiri dari berbagai etnis yang berjumlah + 253 kelompok etnis.Setiap kelompok etnis memiliki sistim kepemimpinan tradisional tertentu dan menampilkan sifat-sifat yang pada satu sisi memiliki persamaan dan pada sisi lain memiliki perbedaan-perbedaan. Dalam disertasi DR.J.R.Mansoben,MA secara gamlang membagi 4 tipe sistim pemimpinan tradisional alias local dipapua,diantaranya, sistim kepemimpinan kepala suku,sistim kepemimpinan kerajaan,sistim kepemimpinan pria berwibawa,dan sistim kepemimpinan campuran.Bila ditinjau lebih jauh dari keempat tipe sistim kepemimpinan tradisional yang tersebar dipap[ua ini,banyak memiliki ciri-ciri spesifik yang memperjuangkan kesejatrahan umum,menegakkan keadilan dan kebenaran,serta menjaga keselamatan bagi warganya. Lantas sistim kepemimpinan formal masuk kedalam sistim kepemimpinan tradisional,maka terjadi dualisme kepemimpinan didalam masyarakat,timbul pertanyaan dampak apa yang diterima oleh masyarakat,atas berbaurnya sistim kepemimpinan tradisional alias local dengal kepemimpinan formal.Awal kehadilan atau masuknya sistim kepemimpinan formal yang dibangun oleh pemerintah belanda dan Indonesia ini,telah terjadi kenangan dalam-dalam sistim kepemimpinan local, sehingga terjadi pula dualasmapemimpinan antara local dan formal yang dalam berimbasnya kebingugan dalam masyarakat tradisional. Disinilah awal pengujian legitimasi kepemimpinan tradisional dan sistim keterpimpinan local yang adalah telah ada legalitas atas cirri-ciri dan kenabilitasnya dalam alinea perpolitikan dimasyarakat.sememtara kepemimpinan fomal diterim dan akui begitu saja tampa adanya suatu pengunjian regetimasi,karena suatu hal baru yang berasal dari pemerintah.Kepemimpinan tradisional yang telah lama hidup dan berkembang dalam masyarakat Papua mulai tergeser dengan kehadiran kepemimpinan formal yang diturunkan oleh pemerintah Belanda ataupun Indonesia yang diplementasikan melalui program pembangunan Desa,Kecamatan,Kabupaten,dan lainnya,sehingga otomatis pula pemimpin-pemimpin local tergeser dan mulai menyaksikan kepemimpinan I formal[Desa,Camat,Bupati,Gubernur,DPR dan lainnya dengan implementasi program,sementara kepemimpinan local implementasinya dengan kapabilitas yang dimilikinya lebih cenderung mengutamakan kesejahteraan warga,kesejahteraan warga,kesemuanya dilakukan dengan nurani yang polos tanpa ambisi radikal menjadi pemimpin local. Lain halnya dengan system kepemimpinan formal [Desa,Camat,Bupati,DPR,dan lainya].selai syarat dengan ambisi naik ke level yang lebih tinggi,juga mencari masa melaui korupsi,kolusi dan nepotisme.Sistem kepemimpinan formal yang telah bercokol hingga kedaerah terpencil ini telah terjadi perubahan-perubahan radikal,yakni semakin menyempitnya ruang gerak peranasn took-toko tradisional,karena mereka tidak diperhitungkan lagi dalam implementasi program pembangunan didaerah kekuasaannya,sehingga tidak mengherankan bila terjadi penyimpangan-penyimpanggan yan merugikan rakyat kecil,disana sini saja kasus korupsi diatas program pembangunan yang diimplementasikan,yang pada ujung-ujungnya hilang mosi masyarat terhadap system kepemimpiana formal baik ditingkat desa,hingga pemerintah pusat sekalipun. Disini banyak kasus yang dapat kita lihaat,dana IDT,Bangdes,PPK,ditingkat desa,misalnya banyak warga desa tidak menikmati dana-dana bantuan tersebut,yang tragisnya dinyalir dana-dana tersebut jatuh ditangan kepala desa dn aparat Camat,dan lain-lainnya,sehingga apatisme pembangunan yang terjadi disana. Hanya sebuah kasus kecil dalam system kepemimpinan desa,belum kasus besar lag yan terjadi ditingkat kabupaten,propinsi,bahkan pusat.berkaitan dengan ini Drs.Mieke sehousen dalam sebuah hasil penelitian mengatakan “Tidak mengheraankan hal ini bukanlah gejala yanBaru.Ia menyebut kesulitan dalam melaksanakan langkah-langkah pemerintah jika kepala desa tidak disenangi:kemudian penduduk desa ,dengan perlawanan pasif,sekalipun merugikan ini”. Disinilah legitimasi system kepemimpinan diuji dimata rakyat,baik itu kahadiran aparatur pemerintah sebagai pemimpin formal implementasi program.Sistem kepemimpinan tradisional telah tergeser dengan adanya berbagai transformasi termasuk system kepemimpinan formal yang merakyat dimana-mana.lantas dengan adanya pembentukan majelis rakyat papua,kasak-kusuk membicarakan,tokt lokaal sebagai salah satu pilar dimeja tersebut,pada hal beberapa decade lamanya tokoh local diposisikan hanya sebagai penonton bahkan tak perna dilibatkan dalam implementasi program alis proyek pembangunan,yang semestinya dialah yang memiliki pengaruh dimasyarakat.apabila kalaupun nanti majelis rakyat papua mulai diisi,percaya atau tidak akan muncul tokoh-tokoh local gandungan alias aspal [Asli tapi palsu ]yang mengaku dirinya tokoh dari suku ini atau suku itu,sementara tokoh pemompin berkualitas masih jauh berada dibalik gunung,lembah ataupun dipinggiran pantai,karena telah digeserkan sebagai pemimpin local dengan adanya kepemimpinan formal.dan juga pemimpin local diadakan yang muncul sepperti itu telah terkontaminasi dengan kepemimpinan formal yang penuh dengan kebobrokan,sehingga perlu pengujian criteria-kriteria legitimasi dan kapabilitas perpolitikan tradisional dimasyarakat.bila seorang mengakui dirinya sebagai tokoh adapt atau sejenisnya guna memperoleh jabatan anggota majelis Rakyat papua atau untuk memperoleh sesuatu,maka perlu dipertanyakan legitimasi dan kapabilitas dia sebagai tokoh masyarakat alias pemimpin local dari suatu etnis,baik yang mengakui sebagai bobot,tonowi,ondofolo,kayepak,kain,nagawan ,sonowi,membri,dan lainnya,sehingga diakui ketokohannya. Untuk itu perlu legitimasi dari masyarakat sebagai seorang tokoh,sebab dengan berbagai perubahan sosial budaya yang berubah cepat itu secara otomatispula telah berubah ketokohan yang sebenarnya demi memperjuang dewasa ini keakuan toko local telah terkontaminasi dengan kepemimpinan formal yang penuh dengan politik kotor dengan berorientasi untuk mencari kepentingan pribadi mengorbankan rakyat kecil yang tarah tau apa-apa.sebab pemimpin local dari suku-suku bangsa yang ada dipapua telah diuji dan memenuhi criteria serta memiliki kapabilitas dimasyarakat,sehingga ketokohannya mendapat legitimasi dari pendukunnya,hanya saja mereka tersebar dikampung-kampung terpencil.Dari uraian ini,ditarik simpulannya bahwa legitimasi kepemimpinan formal telah menggeserkan posisi tokoh masyarakat,sehingga berubah pada kegoncangan dan ancaman system kepemimpinan local,selain itu dengan adanya kepemimpinan formal meninggal preseden buruk bagi warga dengan mencermati penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pemimpin formal,juga terjadi dualisme kepemimpinan yang berimbas pada apatisme masyarat terhadap berbagai implementasi program pembangunan karena masyarakat mengakui kepemimpinan local.bersamaan itupula terjadi perpecahan solidaritas sosial yang ada sejak leluurnya,serta telah membatasi ruang pemimpin local,pula kepemimpinan formal telah mematikan kreatifitas masyarakat dalam usaha-usaha produktif ,yang ujung-ujungnya kini mereka mengharapkan bantuan [beras JPS,Beras Miskin alias raskin,bantuan kukesra,dan lainnya] dari pemimpin formal yang hanya membuka peluang kepada masyarakat mengharapkan bantuan lagi,yang tahu-tahunya pemerintah [pemimpin formal]pun meminjam bantuan luar negeri[padahal diapun trada apa-apa].Disinilah imbas dan problematika dari system kepemimpinan formal, sementara kepemimpinan local telah sirna bersama waktu, yang kini tinggal hanya nama atau konsep” Tonowi,Ondofolo,Kain,Sonowi,Kayepak,Tesmaypit,Bobot, Nagawan,dan lainnya,sedangkan isi atau ciri dan kapabilitas tarah tau entah kemana perginya.Akhirnya,bila kursi majelis rakyat papua mulai dibagikan,maka jangan lupa sisikan pemimpin local yang ada dikampung-kampung,baik itu dibalik gunung,lembah,pesisir,pantai,daerah aliraan sungai,daerah rawah dan lainnya.perhitungkan pemimpin local sebab dia mempunyai pengaruh yang sangat kuat dimasyarakat juga mengetahui keberadaan masyarakat serta memperjuangkan segala aspirasi dan kesejahteraan warganya.Penulis Adalah Koresponden Putra Wissel Merren Yang Tinggal di Manokwari
Oh Emas……..
Engkau Membuat Aku Sejahtera
Engkau Membuat Aku Sehat
Engkau Membuat Aku Senang
Engkau Membuat Aku Sentosa
Engkau Membuat Aku Selamat
Engkau Membuat Aku Sehat
Engkau Membuat Aku Senang
Engkau Membuat Aku Sentosa
Engkau Membuat Aku Selamat
tapi……..
Engkau Membuat Aku Sakit
Engkau Membuat Aku Sedih
Engkau Membuat Aku Susah
Engkau Membuat AKu Sekarat
Engkau Membuat Aku Sedih
Engkau Membuat Aku Susah
Engkau Membuat AKu Sekarat
sampai selama-lamanya
PANDANGAN UMUM
Menurut asal suku bangsanya, suku Mee dan Suku Moni berasal dari “PUPU PAPA” Bagian Timur Pegunungan Tengah Papua Barat. Bukti asal-usul sejarah adat per Marga Papua Barat, yang menghuni di sekitar areal konsesi PT. Freeport Indonesia, Tembagapura kurang lebih 150 (seratus lima puluh) Marga, baik itu dari Suku Amungme, suku Moni maupun suku Mee.
Ada kurang lebih 22 (Duapuluh Dua) marga dari gabungan suku (Amungme, Moni dan Mee) yang menghuni di WASE atau disebut BANTI Tembagapura seperti: Marga Wamuni, Natkime, Jamang, Jupinii/Pakage, Beanal/Dogopia, Bukaleng, Omabak, Omaleng, Janampa/Nakapa, Magal, Jangkup/Jawejagani, Abugau, Uwamang, Diwitau, Dimpau, Metegau, Bonmang, Jundang, Magai/Yogi, Kedepa/Kogopa/Kobepa, Metang, Awalak dan lain-lain yang menghuni di bagian Selatan terdekat Gunung Grasberg dan Danau Wanagon.
Ada kurang lebih 47 (empat puluh tujuh) marga dari suku Moni seperti: Belau, Sondegau, Bagubau, Zagani, Wandagau, Ugimpa, Tipagau, Kobogau, Duwitau, Dimpau, Hanau, Zani, Zoani, Selegani, Bilampani, Abugau, Mbuligau, Sinipa, Gayamopa, Mayani, Tigau, Zanampani, Hogazau, Mazau, Puzau, Sujau, Agimbau, Nagapa, Somou, Japugau, Hagimuni, Maizeni, Hagisimizau, Zonggonau, Kayampa, Widigipa, Ematapa, Holombau, Muzizau, Emani, Nulini, Tapani, Nambagani, Naeyagau, Waeyapa, Bagau, dan Miagoni yang menghuni di bagian Utara terdekat Gunung Grasberg dan Danau Wanagon areal konsesi PT. Freeport Indonesia, Tembagapura, Papua Barat.
Sedangkan 47 (empat puluh tujuh) Marga dari suku Mee (Ekagi) terdiri dari: Kedepa, Kogopa, Kobepa, Nakapa, Tenouye, Bunai, Kadepa, Yatipai, Nawipa, Kogii, Gobay, Degei, Yogi, Muyapa, Dogopia, Yeimo, Kudiai, Nabelau, Umitaapa, Muniipa, Wageepa, Yumai, Yobee, Kogaa, Magay, Tobay, Edowai, Uti, Dawaapa, Adii, Pigai, Anoka Kayame, Yukei, Mote, Ogetai, Tatogo, Boma, Pigome, Koto, Apoga, Madai, Tebay, Obaipaa, Tekege, Takimai, dan Youw yang menghuni di bagian Barat dekat Gunung Grasberg dan Danau Wanagon areal konsesi PT. Freeport Indonesia, Tembagapura, Papua Barat.
Ada kurang lebih 43 (empat puluh tiga) marga lain yang menghuni di bagian Barat jauh dari Gunung Grasberg dan Danau Wanagon areal konsesi PT. Freeport Indonesia, Tembagapura, Papua Barat, yakni:
Mereka (kurang lebih 150 marga) seperti tersebut diatas menuju ke wilayah Paniai menjadi pemilik wilayah adat dan hak ulayat di lembah Yabo, Aga, Degeuwo, Bogo, Uwodege, Eka, Weya, Yawei, Pugo, Daka/Dama, Duma/Dogomo, Yewa, Boma, Aroanop, Banti dan lain-lain melalui 3 (Tiga) Pintu Utama, yakni Kelompok Marga Wodaapa langsung lewat Pintu Barat Punggung Grasberg-Wanagon, Kelompok Marga Yupi/Maki menuju Paniai melalui Pintu Utara Grasberg-Wanagon, dan Kelompok Marga Madouw menuju Paniai melalui Pintu Selatan Grasberg-Wanagon. Ada marga yang keluar langsung dari gunung terkaya yang satu ini (PUYA PIGU/GRASBERG), ada marga yang datang dari kampung lain dan menetap di Wase dan ada marga lain yang langsung saja melewati di sekitar gunung tersebut. Mereka semua punya kepentingan tuntutan yang sama kehadapan Pemerintah dan PT. Freeport Indonesia yaitu untuk mendapatkan SAHAM PT. FREEPORT.
Masyarakat Adat Agadide telah melakukan UPACARA ADAT KESELAMATAN DAERAH KERAMAT di Togogei, 29-30 Juli 1999, Desa Yabomaida untuk menyampaikan aspirasinya kepada NKRI melalui Pemerintah Daerah Paniai, Mimika dan PT. Freeport Indonesia. Berdasarkan Rekomendasi Gubernur Provinsi Papua No.: 593/1288/SET 3 Maret 2003 di Jayapura tentang Pengurusan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat di sekitar areal konsesi PT. FI, maka aspirasi tersebut yang berisi: BANTUAN FREEPORT DIBAGI 3 (TIGA) SUKU MELALUI 4 (EMPAT) PINTU ini telah diusulkan kepada pimpinan PT.FI melalui Pemda Mimika, Paniai dan Gubernur Provinsi Papua di Jayapura. Gunung Grasberg-Danau Wanagon adalah DAERAH KERAMAT BERSAMA SUKU AMUNGME (TIMUR), SUKU MONI (UTARA dari PUYAPIGU:UGIMPA-HOMEYO), SUKU MONI (SELATAN dari PUYA PIGU:WASE-MILE 50-DUMADA-BOUWO-KALI YAWEI) DAN SUKU MEE (BARAT dari PUYA PIGU-MINABUA:DEGEUWODIDE-AGADIDE-YABODIDE-EKADIDE-WEYADIDE) berdasarkan sejarah adat yang berlaku di sekitar areal konsesi PTFI di Tembagapura. Proposal Bantuan Dana Sosialisasi Program Empat Pintu telah diajukan kepada Bupati Mimika dengan No. Agenda: 1438 12-11-2003 di Timika dengan tembusannya disampaikan kepada Bupati dan Ketua DPRD Paniai di Enarotali, Ketua DPRD Mimika di Timika, KA. BPN Provinsi Papua di Jayapura, Ka Badan KESBANG Provinsi Papua di Jayapura, KABAWASDA Provinsi Papua di Jayapura dan CDD/CLO PT. FI untuk memfasilitasi Pengurusan Hak Ulayat yang diajukan oleh masyarakat adat yang menghuni di sekitar areal konsesi PTFI di Tembagapura, Papua Barat. Salah satu diantaranya adalah TUNTUTAN HAK ULAYAT MARGA WAMUNI di Wase.
Batas wilayah kesatuan hidup Suku Amungme, Suku Moni dan Suku Mee di sekitar areal konsesi PT.FI terdekat adalah antara Mile 50-Wase (Desa Wase/Banti), Timika (Mimika Pantai-Mimika Kaki Gunung), Aroanop-Duma/Dogomo, Dama/Daka, Bouwo, Yaweidide Timur, Ogiyaidimida, Siriwo, Maniwo, Kaitakaida, Tomosiga, Gunung Gergaji, Ugimpa, Stinga, Hoya kembali ke Timika, Mile 50-Wase (Desa Wase/Banti) wilayah adatnya adalah MILIK MARGA, bukan MILIK SUKU DAN NEGARA.
Menggali Budaya Papua Lewat Musik, Perlukah? (Kasus Suku Mee)
Oleh Dominikus Douw *)”Koteka moge Paniai makii, kou aniiya kagaabanoo, anii didi kogaa dani totaa kagaabano,”Lirik lagu berbahasa daerah Mee (Papua) di atas ini selalu dinyanyikan oleh grup band Koteka di Semarang. Koteka adalah pakaian adat untuk laki-laki dan moge adalah pakaian adat bagi perempuan di pegunungan tengah Papua. “Paniai makii” tanah air Paniai. “Kou aniya kagaaba” pakaian adat saya. “Anii didi kogaa dani” Saya sungguh bangga dan mencintai pakaian adatku. Dapat juga berarti daerah koteka tumpah darahku.”Totaa kagaaba” pakaian hasil cipta manusia yang sudah ada sejak dahulu kala dan terlestarikan hingga kini. Kira-kira demikian pengertian leksikalnya. Namun kata-kata bahasa Mee yang menjadi sebuah lirik lagu ini, tidak cukup dijelaskan hanya secara harafiah. Secara semantik, lirik lagu di atas mengatakan, koteka dan moge adalah lahir dari angka kepandaian orang pegunungan tengah Papua di masa lalu (dalam konteks ini Paniai). Ini adalah ciri khas saya. Saya adalah manusia berperadaban dan bersejarah. Koteka dan moge harus saya lestarikan karena saya sungguh bangga. Saya sungguh mencintai tanah air orang berkoteka moge. Aku selalu akan mengingat kau penuh seluruh karena aku tidak mau kehilangan identitasku. Kaulah (koteka-moge) yang dapat berbicara kapada dunia akan peradabanku. Aku ingin mengenangmu selalu, walau aku di ratau. Berbicara mengenai koteka dan moge di zaman jins, jas dan dasi, mungkin agak lucu. Bahkan jijik bagi kebanyakan orang, sekalipun orang pegunungan tengah. Orang akan bertanya mengapa koteka moge harus terus dilestarikan pada zaman digital ini. Anehkan. Tetapi ketika Anda merasa aneh, sadarkah kau dengan peradabanmu. Entahlah! Dibenak penulis muncul pertanyaan. Sejak dahulu kala siapa yang bisa membuat pakaian seperti yang kita pakai sekarang ini? Sebelum revolusi Prancis pecah, manusia kembali kepada adat dan budaya masing–masing. Ketika itu tetek nenek moyang tidak tahu membuat pakaian. Mereka hanya memakai koteka dan moge yang merupakan hasil dari kepandaian moyang. Angka kepandaian itulah yang perlu diapresiasi lewat musik untuk melestarikannya. Memang di sisi lain pemerintah berupaya agar koteka harus lepas karena peradaban sudah berganti. Namun penulis optimis, koteka di zaman ini bukan simbol ketertinggalan. Melainkan sebuah identitas dari sebuah bangsa. Identitas inilah kiranya perlu terus diwariskan. ***Koteka dibuat dari tumbuhan yang buahnya agak mirip dengan tumbuhan mentimun atau ketimun. Namun buah koteka agak panjang. Kalau sudah tua buah koteka agak keras. Orang Mee menyebutnya bobbe. Bobe biasanya di tanam di kebun atau di halaman rumah. Proses pembuatannya, bobbe dipetik (biasanya yang sudah tua) kemudian dimasukkan kedalam pasir halus. Di atas pasir halus tersebut dibuat api yang besar. Setelah panas kulit bobbe akan lembek dan isinya akan mencair, lalu biji-biji beserta cairan akan keluar dari dalam ruas bobbe. Setelah itu, bobbe digantung (dikeringkan) di perapian hingga kering. Setelah kering dilengkapi dengan anyaman khusus dan siap pakai sebagai koteka. Moge (cawat) dibuat dari kulit kayu. Namun bukan sembarang pohon. Proses pembuatannya, pohon itu ditebang ambil dulu kulitnya, setelah mengambil kulitnya akan direndam dalam pecek atau akan disiram dengan air agar tetap awet. Kulit kayu itu dikeringkan di terik matahari. Kemudian kulit kayu itu akan terlihat coklat. Lalu kemudian dianyam dan dipakai sebagai moge. Lagu koteka moge di tetapkan oleh Koteka Group Band sebagai lagu mars. Lagu ini harus selalu dinyanyikan ketika pentas sebagai lagu pertama. Lagu koteka moge ini kalau didengar oleh pendengar hanya sederhana saja dan jauh dari harapkan pendengar baik itu dari sisi musiknya, suaranya dan kekompakannya dalam menyanyi. Namun di situlah letak seni dan kekhasan lagu ini. Karena group band Koteka ini dibentuk bukan sekedar untuk menyanyi dengan suara dan musik yang baik seperti grup musik biasanya. Akan tetapi mencoba berpikir bagaimana mengangkat seni dan budaya suku Mee melalui lagu-lagu. Selain itu melalui lagu-lagu, mencoba mengangkat nilai-nilai moral yang terkandung dalam budaya. Misalnya, melalui lagu berjudul ’’Woiyo Paniai Makiyo woiyo’. Lagu ini mengandung arti mari membangun Paniai dan Nabire dengan tinggalkan kebiasaan–kebiasaan buruk dan mengangkat nilai–nilai budaya suku Mee Papua yang sudah ada dari dulu yang hingga hingga kini mulai terkikis. Bob Marley, Lucky Dube, UB 40 dan lainnya yang begitu terkenal adalah bukan lagu-lagu pilhan Koteka Band. Komitmen Koteka Band adalah terus menciptakan lagu-lagu yang berkaitan dengan nilai– nilai budaya. Komitmen itu, sudah mulai terwujud dengan rekaman live namun karena keterbatasan dana, maka rekaman tracknya masih belum. Yang penting sekarang adalah, bagaimana memetik pengalaman ini untuk mencoba mengembangkan kebudayaan melalui lagu-lagu dalam rangka mengangkat nilai-nilai budaya. Personil Black Brothers, Pace Sembor, ketika di Jakarta bulan Mei 2005, saat beliau mengantarkan mayat rekannya David Rumaropen mengatakan ’’Kalau kalian mau berfokus ke dunia musik janganlah sekali–kali mau cinta sekolah.’’ Ini artinya bakat yang sudah ada itu harus terus kita kembangkan. Menurut penulis bakat itu sudah ada pada orang (mahasiswa) Papua, misalnya pada saat kita bermain musik, lalu satu orang angkat lagu dan suaranya pas dengan bunyi gitarnya, dan lagu tersebut dilantunkan oleh orang–orang yang ada di sampingnya tanpa mempelajari not dan sebagainya. Namun seperti pengalaman Koteka Band, kendala kita adalah tidak ada dukungan. Setelah bakat itu terlihat, siapa yang akan memfasilitasi? Ya kita tanya saja kepada para pejabat daerah. Semua kepala daerah tingkat I maupun para tingkat II Papua. Apakah ada bagian kesenian daerah yang benar-benar memperhatikan dan mengangkat budaya daerah? Ataukah kita harus ikut budaya dari luar saja?, seperti lagunya Bob marley dan kolega–koleganya? Contoh lain potensi yang tak pernah terperhatikan adalah tahun 2002 di Yogya ada group band bernama Paradise Band atau Black Wissel. Pada saat itu teman–teman Black Wissel pernah mencoba membuat rekaman livenya sebagai bukti dan syarat untuk melengkapi permohonan kepada Pemda Nabire dan Pemda Paniai, untuk merekam tracknya. Namun tidak mendapatkan bantuan dari Pemda Nabire dan Pemda Paniai. Itu ketidakpekaan pemerintah daerah untuk mengembangkan seni dan budaya. Dengan melihat realita ini muncul pertanyaan, kapan orang Papua (suku Mee) akan berkembang dan mengangkat nilai–nilai budaya lewat musik? Namun kini kembali kepada kita semua baik pejabat, mahasiswa, dan seluruh lapisan masyarakat suku Mee, yang ada di Papua maupun yang ada di luar Papua. Apakah kita mau kembangkan group Band KAIDO dari bandung, BLACK WISSEL dari Yogja dan KOTEKA Group Band dari Semarang. Ketika grup band ini dengan susah payah telah meraih dan membangun budaya lewat musik, namun tidak terperhatikan. Penulis berharap kepada teman-teman dari suku Mee yang pernah membentuk group band, apabila kalian didukung oleh dana dan fasilitas, maka cobalah kembangkan kitong pu budaya kah, seperti gowai, ugaa, tupe, wanii dan lain- lain. Penulis juga pesan kepada teman–teman yang baru dan telah membentuk group band perlu pahami bahwa BOB MARLEY itu dari Jamaica dan LUCKY DUBE dari Afrika Selatan. Mereka berdua tidak sama dalam melantunkan lagunya, musiknya, dan suaranya jelas beda. Ketika JIMMY CLIFF pentas di Jamaica ia mengatakan “Saya bukan BOB MARLEY, saya adalah JIMMY CLLIF,, maka ia menyanyikan lagu–lagu ciptaan sendiri. Penulis berharap kalau bisa, perlunya mengangkat nilai–nilai budaya suku Mee yang telah ada seperti ugaa, Gowai, tupe, wani dan lainnya, karena pada prinsipnya bahwa, ,,Kita bukan mereka dan mereka bukan kita.” Seni dan budaya kita Papua (suku Mee) semakin terkikis habis oleh alkulturasi budaya. Kini kita lebih suka dengan lagu-lagu dari luar, kita mulai meninggalkan budaya kita yang khas. Kita semakin menjadi manusia tidak beridentitas. Untuk itu, mari kita menerapkan falsafah orang Mee, yakni dou, gai, ekowai dalam menyikapi hal ini. Pesan khusus kepada pejabat–pejabat orang Mee, lebih khusus lagi Bupati Nabire dan Bupati Paniai sebagai orang yang mengambil kebijakan di daerah, cobalah perhatikan generasi esok suku Mee Papua, agar nilai–nilai seni dan budaya tetap terlestari untuk selamanya. Karena memang kita harus lihat dulu ke dalam suku Mee, kemudian Papua seluruhnya dan secara nasional dan mendunia (internasinal). Kita berjalan itu, sambil melihat ke arah jalan (kebawah) bukan sambil melihat ke atas langit. Semoga saja! Amin!*) Alumni Fakultas Hukum UNTAG 1945 Semarang————————————–
Makna Konsep Budaya Yame OwaSecara etimologis dan harafiah dapat diartikan bahwa: Yame = (laki-laki) Owa (rumah). Artinya rumah tinggal khusus laki-laki dalam suku Mee–Papua. Konsep Budaya Yame Owa terdapat dalam suku Mee, yang mendiami di pegungungan tengah Papua. Suku Mee tersebar di danau-danau Wiselmaren dan daerah Kamuu, Mapia, Siriwo. Mee artinya manusia sejati.Yame Owa didirikan oleh seseorang yang memiliki satus sosial, ekonomi yang mapan menurut ukuran masyarakat sekitarnya dan karena mempunyai kemampuan tertentu baik dalam pemahaman budaya maupun hal-hal mistik. Yame Owa adalah tempat tinggal khusus laki-laki yang telah dewasa dan tempat berlangsungnya proses sosialisasi nilai-nilai budaya melalui proses komunikasi. Suku Mee memandang Yame Owa sebagai simbol pemersatu: ide, perasaan, perbedaan pandangan, yang berorientasi pada proses dialog dalam rangka penyesaian masalah-masalah yang terjadi di tengah masyarakat. Yame Owa dapat menghantarkan manusia suku Mee pada pengembaraan dalam pemikiran manusia dan memaknai alam semesta. Orang Mee mempunyai pandangan bahwa manusia harus hidup, melihat, berpikir melakukan sesuatu dan memandang ke depan dari dalam Yame Owa yang kokoh. Filosofi Konsep Budaya Yame OwaBerbicara tentang budaya Yame Owa tidak hanya terbatas pada sudut pandang yang tersimbol dalam rumah adat. Akan tetapi lebih penting adalah pandangan filosofis tentang budaya yang menjiwai seluruh aktivitas hidup suku Mee. Mengacu pada pegertian konsep budaya Yame Owa di atas, unsur filosofisnya yaitu suku Mee memandang proses hidup yang dijalani sebagai sebuah rumah Yame Owa yang kokoh dan unik. Filosofis budaya Yame Owa adalah pelestarian karya cipta Tuhan ketika manusia suku Mee harus membangun dirinya dan sesamnya dengan konsep budaya yang ada. Sebagaimana arsitektur vernakular Yame Owa, dibangun dengan suatu kearifan yang teliti dimana menentukan lokasi, bahan, bentuk, ukuran serta estetis bangunan itu sendiri. Berdasarkan tingkat kualitas yang maksimal tersebut maka dalam membangun dirinya dan sesama harus dengan seoptimal mungkin dengan cara membedakan mana yang baik dan buruk sebagai ciptaan Tuhan yang berakal budi. Pandangan filosofis tersebut, sudah menjadi acuan dalam usaha menata berbagai bidang kehidupan secara parsial. Karena kehidupan merupakan suatu sistem yang luas dan jangkauannya luas (multi-dimensional). Tentunya pandangan tentang bidang-bidang kehidupan ini ruang lingkup perhatianya selalu mengalami perluasan sesuai dengan tuntuan perubahan. Sebagaimana masyarakat suku M08/05/2008ee membangun rumah Yame Owa sebagai tempat yang memili multi fungsional dengan konstruksi bangunan yang kuat, maka Kabupaten Paniai sebagai Yame Owa maka semua kebijakan-kebijakan dan administrasi pemerintahan berawal secara baik sebagai fundamen menuju kematangan.
Ada kurang lebih 22 (Duapuluh Dua) marga dari gabungan suku (Amungme, Moni dan Mee) yang menghuni di WASE atau disebut BANTI Tembagapura seperti: Marga Wamuni, Natkime, Jamang, Jupinii/Pakage, Beanal/Dogopia, Bukaleng, Omabak, Omaleng, Janampa/Nakapa, Magal, Jangkup/Jawejagani, Abugau, Uwamang, Diwitau, Dimpau, Metegau, Bonmang, Jundang, Magai/Yogi, Kedepa/Kogopa/Kobepa, Metang, Awalak dan lain-lain yang menghuni di bagian Selatan terdekat Gunung Grasberg dan Danau Wanagon.
Ada kurang lebih 47 (empat puluh tujuh) marga dari suku Moni seperti: Belau, Sondegau, Bagubau, Zagani, Wandagau, Ugimpa, Tipagau, Kobogau, Duwitau, Dimpau, Hanau, Zani, Zoani, Selegani, Bilampani, Abugau, Mbuligau, Sinipa, Gayamopa, Mayani, Tigau, Zanampani, Hogazau, Mazau, Puzau, Sujau, Agimbau, Nagapa, Somou, Japugau, Hagimuni, Maizeni, Hagisimizau, Zonggonau, Kayampa, Widigipa, Ematapa, Holombau, Muzizau, Emani, Nulini, Tapani, Nambagani, Naeyagau, Waeyapa, Bagau, dan Miagoni yang menghuni di bagian Utara terdekat Gunung Grasberg dan Danau Wanagon areal konsesi PT. Freeport Indonesia, Tembagapura, Papua Barat.
Sedangkan 47 (empat puluh tujuh) Marga dari suku Mee (Ekagi) terdiri dari: Kedepa, Kogopa, Kobepa, Nakapa, Tenouye, Bunai, Kadepa, Yatipai, Nawipa, Kogii, Gobay, Degei, Yogi, Muyapa, Dogopia, Yeimo, Kudiai, Nabelau, Umitaapa, Muniipa, Wageepa, Yumai, Yobee, Kogaa, Magay, Tobay, Edowai, Uti, Dawaapa, Adii, Pigai, Anoka Kayame, Yukei, Mote, Ogetai, Tatogo, Boma, Pigome, Koto, Apoga, Madai, Tebay, Obaipaa, Tekege, Takimai, dan Youw yang menghuni di bagian Barat dekat Gunung Grasberg dan Danau Wanagon areal konsesi PT. Freeport Indonesia, Tembagapura, Papua Barat.
Ada kurang lebih 43 (empat puluh tiga) marga lain yang menghuni di bagian Barat jauh dari Gunung Grasberg dan Danau Wanagon areal konsesi PT. Freeport Indonesia, Tembagapura, Papua Barat, yakni:
Mereka (kurang lebih 150 marga) seperti tersebut diatas menuju ke wilayah Paniai menjadi pemilik wilayah adat dan hak ulayat di lembah Yabo, Aga, Degeuwo, Bogo, Uwodege, Eka, Weya, Yawei, Pugo, Daka/Dama, Duma/Dogomo, Yewa, Boma, Aroanop, Banti dan lain-lain melalui 3 (Tiga) Pintu Utama, yakni Kelompok Marga Wodaapa langsung lewat Pintu Barat Punggung Grasberg-Wanagon, Kelompok Marga Yupi/Maki menuju Paniai melalui Pintu Utara Grasberg-Wanagon, dan Kelompok Marga Madouw menuju Paniai melalui Pintu Selatan Grasberg-Wanagon. Ada marga yang keluar langsung dari gunung terkaya yang satu ini (PUYA PIGU/GRASBERG), ada marga yang datang dari kampung lain dan menetap di Wase dan ada marga lain yang langsung saja melewati di sekitar gunung tersebut. Mereka semua punya kepentingan tuntutan yang sama kehadapan Pemerintah dan PT. Freeport Indonesia yaitu untuk mendapatkan SAHAM PT. FREEPORT.
Masyarakat Adat Agadide telah melakukan UPACARA ADAT KESELAMATAN DAERAH KERAMAT di Togogei, 29-30 Juli 1999, Desa Yabomaida untuk menyampaikan aspirasinya kepada NKRI melalui Pemerintah Daerah Paniai, Mimika dan PT. Freeport Indonesia. Berdasarkan Rekomendasi Gubernur Provinsi Papua No.: 593/1288/SET 3 Maret 2003 di Jayapura tentang Pengurusan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat di sekitar areal konsesi PT. FI, maka aspirasi tersebut yang berisi: BANTUAN FREEPORT DIBAGI 3 (TIGA) SUKU MELALUI 4 (EMPAT) PINTU ini telah diusulkan kepada pimpinan PT.FI melalui Pemda Mimika, Paniai dan Gubernur Provinsi Papua di Jayapura. Gunung Grasberg-Danau Wanagon adalah DAERAH KERAMAT BERSAMA SUKU AMUNGME (TIMUR), SUKU MONI (UTARA dari PUYAPIGU:UGIMPA-HOMEYO), SUKU MONI (SELATAN dari PUYA PIGU:WASE-MILE 50-DUMADA-BOUWO-KALI YAWEI) DAN SUKU MEE (BARAT dari PUYA PIGU-MINABUA:DEGEUWODIDE-AGADIDE-YABODIDE-EKADIDE-WEYADIDE) berdasarkan sejarah adat yang berlaku di sekitar areal konsesi PTFI di Tembagapura. Proposal Bantuan Dana Sosialisasi Program Empat Pintu telah diajukan kepada Bupati Mimika dengan No. Agenda: 1438 12-11-2003 di Timika dengan tembusannya disampaikan kepada Bupati dan Ketua DPRD Paniai di Enarotali, Ketua DPRD Mimika di Timika, KA. BPN Provinsi Papua di Jayapura, Ka Badan KESBANG Provinsi Papua di Jayapura, KABAWASDA Provinsi Papua di Jayapura dan CDD/CLO PT. FI untuk memfasilitasi Pengurusan Hak Ulayat yang diajukan oleh masyarakat adat yang menghuni di sekitar areal konsesi PTFI di Tembagapura, Papua Barat. Salah satu diantaranya adalah TUNTUTAN HAK ULAYAT MARGA WAMUNI di Wase.
Batas wilayah kesatuan hidup Suku Amungme, Suku Moni dan Suku Mee di sekitar areal konsesi PT.FI terdekat adalah antara Mile 50-Wase (Desa Wase/Banti), Timika (Mimika Pantai-Mimika Kaki Gunung), Aroanop-Duma/Dogomo, Dama/Daka, Bouwo, Yaweidide Timur, Ogiyaidimida, Siriwo, Maniwo, Kaitakaida, Tomosiga, Gunung Gergaji, Ugimpa, Stinga, Hoya kembali ke Timika, Mile 50-Wase (Desa Wase/Banti) wilayah adatnya adalah MILIK MARGA, bukan MILIK SUKU DAN NEGARA.
Menggali Budaya Papua Lewat Musik, Perlukah? (Kasus Suku Mee)
Oleh Dominikus Douw *)”Koteka moge Paniai makii, kou aniiya kagaabanoo, anii didi kogaa dani totaa kagaabano,”Lirik lagu berbahasa daerah Mee (Papua) di atas ini selalu dinyanyikan oleh grup band Koteka di Semarang. Koteka adalah pakaian adat untuk laki-laki dan moge adalah pakaian adat bagi perempuan di pegunungan tengah Papua. “Paniai makii” tanah air Paniai. “Kou aniya kagaaba” pakaian adat saya. “Anii didi kogaa dani” Saya sungguh bangga dan mencintai pakaian adatku. Dapat juga berarti daerah koteka tumpah darahku.”Totaa kagaaba” pakaian hasil cipta manusia yang sudah ada sejak dahulu kala dan terlestarikan hingga kini. Kira-kira demikian pengertian leksikalnya. Namun kata-kata bahasa Mee yang menjadi sebuah lirik lagu ini, tidak cukup dijelaskan hanya secara harafiah. Secara semantik, lirik lagu di atas mengatakan, koteka dan moge adalah lahir dari angka kepandaian orang pegunungan tengah Papua di masa lalu (dalam konteks ini Paniai). Ini adalah ciri khas saya. Saya adalah manusia berperadaban dan bersejarah. Koteka dan moge harus saya lestarikan karena saya sungguh bangga. Saya sungguh mencintai tanah air orang berkoteka moge. Aku selalu akan mengingat kau penuh seluruh karena aku tidak mau kehilangan identitasku. Kaulah (koteka-moge) yang dapat berbicara kapada dunia akan peradabanku. Aku ingin mengenangmu selalu, walau aku di ratau. Berbicara mengenai koteka dan moge di zaman jins, jas dan dasi, mungkin agak lucu. Bahkan jijik bagi kebanyakan orang, sekalipun orang pegunungan tengah. Orang akan bertanya mengapa koteka moge harus terus dilestarikan pada zaman digital ini. Anehkan. Tetapi ketika Anda merasa aneh, sadarkah kau dengan peradabanmu. Entahlah! Dibenak penulis muncul pertanyaan. Sejak dahulu kala siapa yang bisa membuat pakaian seperti yang kita pakai sekarang ini? Sebelum revolusi Prancis pecah, manusia kembali kepada adat dan budaya masing–masing. Ketika itu tetek nenek moyang tidak tahu membuat pakaian. Mereka hanya memakai koteka dan moge yang merupakan hasil dari kepandaian moyang. Angka kepandaian itulah yang perlu diapresiasi lewat musik untuk melestarikannya. Memang di sisi lain pemerintah berupaya agar koteka harus lepas karena peradaban sudah berganti. Namun penulis optimis, koteka di zaman ini bukan simbol ketertinggalan. Melainkan sebuah identitas dari sebuah bangsa. Identitas inilah kiranya perlu terus diwariskan. ***Koteka dibuat dari tumbuhan yang buahnya agak mirip dengan tumbuhan mentimun atau ketimun. Namun buah koteka agak panjang. Kalau sudah tua buah koteka agak keras. Orang Mee menyebutnya bobbe. Bobe biasanya di tanam di kebun atau di halaman rumah. Proses pembuatannya, bobbe dipetik (biasanya yang sudah tua) kemudian dimasukkan kedalam pasir halus. Di atas pasir halus tersebut dibuat api yang besar. Setelah panas kulit bobbe akan lembek dan isinya akan mencair, lalu biji-biji beserta cairan akan keluar dari dalam ruas bobbe. Setelah itu, bobbe digantung (dikeringkan) di perapian hingga kering. Setelah kering dilengkapi dengan anyaman khusus dan siap pakai sebagai koteka. Moge (cawat) dibuat dari kulit kayu. Namun bukan sembarang pohon. Proses pembuatannya, pohon itu ditebang ambil dulu kulitnya, setelah mengambil kulitnya akan direndam dalam pecek atau akan disiram dengan air agar tetap awet. Kulit kayu itu dikeringkan di terik matahari. Kemudian kulit kayu itu akan terlihat coklat. Lalu kemudian dianyam dan dipakai sebagai moge. Lagu koteka moge di tetapkan oleh Koteka Group Band sebagai lagu mars. Lagu ini harus selalu dinyanyikan ketika pentas sebagai lagu pertama. Lagu koteka moge ini kalau didengar oleh pendengar hanya sederhana saja dan jauh dari harapkan pendengar baik itu dari sisi musiknya, suaranya dan kekompakannya dalam menyanyi. Namun di situlah letak seni dan kekhasan lagu ini. Karena group band Koteka ini dibentuk bukan sekedar untuk menyanyi dengan suara dan musik yang baik seperti grup musik biasanya. Akan tetapi mencoba berpikir bagaimana mengangkat seni dan budaya suku Mee melalui lagu-lagu. Selain itu melalui lagu-lagu, mencoba mengangkat nilai-nilai moral yang terkandung dalam budaya. Misalnya, melalui lagu berjudul ’’Woiyo Paniai Makiyo woiyo’. Lagu ini mengandung arti mari membangun Paniai dan Nabire dengan tinggalkan kebiasaan–kebiasaan buruk dan mengangkat nilai–nilai budaya suku Mee Papua yang sudah ada dari dulu yang hingga hingga kini mulai terkikis. Bob Marley, Lucky Dube, UB 40 dan lainnya yang begitu terkenal adalah bukan lagu-lagu pilhan Koteka Band. Komitmen Koteka Band adalah terus menciptakan lagu-lagu yang berkaitan dengan nilai– nilai budaya. Komitmen itu, sudah mulai terwujud dengan rekaman live namun karena keterbatasan dana, maka rekaman tracknya masih belum. Yang penting sekarang adalah, bagaimana memetik pengalaman ini untuk mencoba mengembangkan kebudayaan melalui lagu-lagu dalam rangka mengangkat nilai-nilai budaya. Personil Black Brothers, Pace Sembor, ketika di Jakarta bulan Mei 2005, saat beliau mengantarkan mayat rekannya David Rumaropen mengatakan ’’Kalau kalian mau berfokus ke dunia musik janganlah sekali–kali mau cinta sekolah.’’ Ini artinya bakat yang sudah ada itu harus terus kita kembangkan. Menurut penulis bakat itu sudah ada pada orang (mahasiswa) Papua, misalnya pada saat kita bermain musik, lalu satu orang angkat lagu dan suaranya pas dengan bunyi gitarnya, dan lagu tersebut dilantunkan oleh orang–orang yang ada di sampingnya tanpa mempelajari not dan sebagainya. Namun seperti pengalaman Koteka Band, kendala kita adalah tidak ada dukungan. Setelah bakat itu terlihat, siapa yang akan memfasilitasi? Ya kita tanya saja kepada para pejabat daerah. Semua kepala daerah tingkat I maupun para tingkat II Papua. Apakah ada bagian kesenian daerah yang benar-benar memperhatikan dan mengangkat budaya daerah? Ataukah kita harus ikut budaya dari luar saja?, seperti lagunya Bob marley dan kolega–koleganya? Contoh lain potensi yang tak pernah terperhatikan adalah tahun 2002 di Yogya ada group band bernama Paradise Band atau Black Wissel. Pada saat itu teman–teman Black Wissel pernah mencoba membuat rekaman livenya sebagai bukti dan syarat untuk melengkapi permohonan kepada Pemda Nabire dan Pemda Paniai, untuk merekam tracknya. Namun tidak mendapatkan bantuan dari Pemda Nabire dan Pemda Paniai. Itu ketidakpekaan pemerintah daerah untuk mengembangkan seni dan budaya. Dengan melihat realita ini muncul pertanyaan, kapan orang Papua (suku Mee) akan berkembang dan mengangkat nilai–nilai budaya lewat musik? Namun kini kembali kepada kita semua baik pejabat, mahasiswa, dan seluruh lapisan masyarakat suku Mee, yang ada di Papua maupun yang ada di luar Papua. Apakah kita mau kembangkan group Band KAIDO dari bandung, BLACK WISSEL dari Yogja dan KOTEKA Group Band dari Semarang. Ketika grup band ini dengan susah payah telah meraih dan membangun budaya lewat musik, namun tidak terperhatikan. Penulis berharap kepada teman-teman dari suku Mee yang pernah membentuk group band, apabila kalian didukung oleh dana dan fasilitas, maka cobalah kembangkan kitong pu budaya kah, seperti gowai, ugaa, tupe, wanii dan lain- lain. Penulis juga pesan kepada teman–teman yang baru dan telah membentuk group band perlu pahami bahwa BOB MARLEY itu dari Jamaica dan LUCKY DUBE dari Afrika Selatan. Mereka berdua tidak sama dalam melantunkan lagunya, musiknya, dan suaranya jelas beda. Ketika JIMMY CLIFF pentas di Jamaica ia mengatakan “Saya bukan BOB MARLEY, saya adalah JIMMY CLLIF,, maka ia menyanyikan lagu–lagu ciptaan sendiri. Penulis berharap kalau bisa, perlunya mengangkat nilai–nilai budaya suku Mee yang telah ada seperti ugaa, Gowai, tupe, wani dan lainnya, karena pada prinsipnya bahwa, ,,Kita bukan mereka dan mereka bukan kita.” Seni dan budaya kita Papua (suku Mee) semakin terkikis habis oleh alkulturasi budaya. Kini kita lebih suka dengan lagu-lagu dari luar, kita mulai meninggalkan budaya kita yang khas. Kita semakin menjadi manusia tidak beridentitas. Untuk itu, mari kita menerapkan falsafah orang Mee, yakni dou, gai, ekowai dalam menyikapi hal ini. Pesan khusus kepada pejabat–pejabat orang Mee, lebih khusus lagi Bupati Nabire dan Bupati Paniai sebagai orang yang mengambil kebijakan di daerah, cobalah perhatikan generasi esok suku Mee Papua, agar nilai–nilai seni dan budaya tetap terlestari untuk selamanya. Karena memang kita harus lihat dulu ke dalam suku Mee, kemudian Papua seluruhnya dan secara nasional dan mendunia (internasinal). Kita berjalan itu, sambil melihat ke arah jalan (kebawah) bukan sambil melihat ke atas langit. Semoga saja! Amin!*) Alumni Fakultas Hukum UNTAG 1945 Semarang————————————–
Makna Konsep Budaya Yame OwaSecara etimologis dan harafiah dapat diartikan bahwa: Yame = (laki-laki) Owa (rumah). Artinya rumah tinggal khusus laki-laki dalam suku Mee–Papua. Konsep Budaya Yame Owa terdapat dalam suku Mee, yang mendiami di pegungungan tengah Papua. Suku Mee tersebar di danau-danau Wiselmaren dan daerah Kamuu, Mapia, Siriwo. Mee artinya manusia sejati.Yame Owa didirikan oleh seseorang yang memiliki satus sosial, ekonomi yang mapan menurut ukuran masyarakat sekitarnya dan karena mempunyai kemampuan tertentu baik dalam pemahaman budaya maupun hal-hal mistik. Yame Owa adalah tempat tinggal khusus laki-laki yang telah dewasa dan tempat berlangsungnya proses sosialisasi nilai-nilai budaya melalui proses komunikasi. Suku Mee memandang Yame Owa sebagai simbol pemersatu: ide, perasaan, perbedaan pandangan, yang berorientasi pada proses dialog dalam rangka penyesaian masalah-masalah yang terjadi di tengah masyarakat. Yame Owa dapat menghantarkan manusia suku Mee pada pengembaraan dalam pemikiran manusia dan memaknai alam semesta. Orang Mee mempunyai pandangan bahwa manusia harus hidup, melihat, berpikir melakukan sesuatu dan memandang ke depan dari dalam Yame Owa yang kokoh. Filosofi Konsep Budaya Yame OwaBerbicara tentang budaya Yame Owa tidak hanya terbatas pada sudut pandang yang tersimbol dalam rumah adat. Akan tetapi lebih penting adalah pandangan filosofis tentang budaya yang menjiwai seluruh aktivitas hidup suku Mee. Mengacu pada pegertian konsep budaya Yame Owa di atas, unsur filosofisnya yaitu suku Mee memandang proses hidup yang dijalani sebagai sebuah rumah Yame Owa yang kokoh dan unik. Filosofis budaya Yame Owa adalah pelestarian karya cipta Tuhan ketika manusia suku Mee harus membangun dirinya dan sesamnya dengan konsep budaya yang ada. Sebagaimana arsitektur vernakular Yame Owa, dibangun dengan suatu kearifan yang teliti dimana menentukan lokasi, bahan, bentuk, ukuran serta estetis bangunan itu sendiri. Berdasarkan tingkat kualitas yang maksimal tersebut maka dalam membangun dirinya dan sesama harus dengan seoptimal mungkin dengan cara membedakan mana yang baik dan buruk sebagai ciptaan Tuhan yang berakal budi. Pandangan filosofis tersebut, sudah menjadi acuan dalam usaha menata berbagai bidang kehidupan secara parsial. Karena kehidupan merupakan suatu sistem yang luas dan jangkauannya luas (multi-dimensional). Tentunya pandangan tentang bidang-bidang kehidupan ini ruang lingkup perhatianya selalu mengalami perluasan sesuai dengan tuntuan perubahan. Sebagaimana masyarakat suku M08/05/2008ee membangun rumah Yame Owa sebagai tempat yang memili multi fungsional dengan konstruksi bangunan yang kuat, maka Kabupaten Paniai sebagai Yame Owa maka semua kebijakan-kebijakan dan administrasi pemerintahan berawal secara baik sebagai fundamen menuju kematangan.
0 komentar:
Posting Komentar